Jumat, 03 Mei 2013

Mahar dan Nafkah


BAB I
Pendahuluan

A.    Pendahuluan                                                       
Allah telah menganjurkan kepada kita semua sebagai umat islam untuk menikah, mahar adalah salah satu hal yang harus ada jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, mahar itu adalah tebusan seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang hendak ia nikahi sebagai simbol menghargainya seorang laki-laki kepada calon istrinya.
Nafkah adalah sebuah kewajiban bagi suami untuk memberi penghidupan kepada keluarganya, jika suami tidak menafkahi istrinyna dan istri tidak ridho, maka istri tersebut bisa menuntuk suaminya untuk menceraikannya, hal inilah yang sering terjadi di masyarakat kita, perceraian terjadi kebanyakan penyebab utamanya adalah suami yang tidak bisa menafkahi istrinya dengan layak.
B.     Rumusan Penulisan
Dari pendahuluan diatas maka penulis mengambil kesimpulan untuk rumusan masalah seperti berikut:
1.      Bagaimana pandangan hukum perkawinan islam dalam memandang mahar dan nafkah?
2.      Apa nash yang berhubungan dengan mahar dan nafkah?

C.     Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, maka diambillah tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pandangan hukum perkawinan islam mengenai mahar dan nafkah.
2.      Untuk mengetahui nash tentang mahar dan nafkah.


BAB II

Pembahasan

A.    Definisi Mahar dan Nafkah
Mahar adalah suatu harta yang wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istri dengan sebab nikah atau watha’. Mahar hukumnya wajib bagi calon suami kepada calon istrinya sebagai rasa menghargainya calon suami kepada calon istri dan sebagai pemberian calon suami dengan penuh kerelaan.
Firman Allah dalam QS. An-Nisa (4):4 yang berbunyi:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[1]
Nafkah adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang kepada istri, kerabat dan kepada miliknya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, baik itu berupa roti, gulai, pakaian, tempat tinggal, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup seperti air, minyak, lampu, dan sebagainya. Imam Taqiuddin dalam kitab Kifayatul Akhyar menjelaskan ada tiga sebab yang mewajibkan kewajiban nafkah, yaitu: hubungan kerabat keluarga, hubungan pemilikan tuan dengan budaknya dan hubungan perkawinan. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Mu’awiyah Al-Kutsairi berkata: saya bertanya, wahai Rasulallah, apakah hak seorang istri kepada suaminya? Sabda Rasullah: engkau memberi makan kepadanya apa yang kamu makan, engkau memberi pakaian sebagaimana engkau berpakaian, janganlah engkau memukul mukanya, janganlah engkau memisahkannya kecuali dalam satu rumah.”[2]
B.     Pendapan Para Ulama Tentang Mahar dan Nafkah
Banyak sekali pandangan para ulama tentang status mahar ini, ada yang menyebutkan bahwa mahar termasuk kedalam syarat perkawinan, dan ada juga yang menyebutkan bahwa mahar masuk kedalam rukun perkawinan, bahkan ada juga yang tidak menyebutkan mahar sebagai rukum maupun syarat.
Ø  Dalam kitab al-Mawatta, karangan imam Malik, ditulis beberapa kasus yang berhubungan dengan mahar, yakni hadits dan atsar yang berhubungan dengan status mahar, yaitu: (1) disebutkan walaupun seorang laki-laki menikahi seorang wanida dan kemudian menyentuhnya (massaha) meskipun wanita itu mengidap penyakit kusta atau gila, mahar itu harus dibayar. (2) kasus seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, tetapi meninggal sebelum sempat menyentuhnya, ternyata Abdullah bin Umar menetapkan bahwa wanita tersebut tidak berhak mendapat mahar. (3) ketetapan Umar bin Abd al-Aziz yang diriwayatkan Malik, bahwa seorang laki-laki yang belum dewasa kalau mempunyai harta wajib membayar mahar, namun boleh juga dibayar bapaknya. Sedangkan jika terjadi perceraian sebelum suami menyentuh istri, dan wanita tersebut masih berstatus gadis, berhak mendapat setengah mahar. Pandangan ini menurut Malik ini sejalan dengan QS.Al-Baqarah (2): 237
Ø  Madzhab Hanafi
Abu Hanifah berpendapat bahwa mencukupi nafkah istri adalah kewajiban kedua setelah mahar. Kewajiban ini berdasarkan QS. Al-Baqarah (2): 233, An-Nisa (4): 34, dan At-Talaq (65): 6, ditambah dengan sunnah nabi:
“Diwasiatkan agar berbuat baik kepada wanita, sebab wanita adalah mitra bagi laki-laki (suami). Kamu (laki-laki) menjadikan wanita sebagai istri karena amanat Allah, dan mereka (wanita) menjadi halal bagi kamu (laki-laki) juga berdasar kalimat Allah. Para laki-laki (suami) mempunyai hak yang wajib ditunaikan oleh wanita (istri). Demikian sebaliknya, istri juga mempunyai hak yang wajib ditunaikan oleh suami. Hak-hak suami dari istri adalah istri dilarang mengizinkan orang yang dibenci suami masuk rumah atau tidur di rumah. Kalau istri melanggar larangan suami tersebut, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (untuk mendidik). Adapun hak para istri dari suami adalah mendapat pangan dan sandang yang baik.”
Ø  Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i menyebutkan, hak istri sebagai kewajiban suami sebagai kepada istrinya adalah membayar nafkah. Adapun unsur yang termasuk biaya nafkah adalah biaya susuan, nafkah makan dan minum (sandang), pakaian (pangan), pembantu rumah tangga, tempat tinggal (papan) dan kebutuhan seks. Suami juga wajib membiayai anak sempai batas anak dewasa, yang ditandai dengan keluarnya darah haidh (perempuan) atau bermimpi (laki-laki). Tetapi jika anak dalam keadaan miskin, sementara orang tua memiliki kemampuan untuk membiayai, orang tua masih wajib membiayai nafkah anak meskipun sudah dewasa. Kewajiban pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadi akad nikah. Dasar kewajiban memenuhi nafkah istri dan keluarga adalah al-Quran dan sunnah Nabi. Adapun ayat al-Quran yang dimaksud adalah: An-Nisa (4): 3, Al-Baqarah (2): 233, At-Talaq (65): 6. Dasar dari sunnah Nabi adalah suruhan atau persetujuan nabi agar istri mengambil harta suami untuk nafkah keluarga secukupnya.
Ø  Madzhab Hanbali
Menurut imam Hanbali, suami wajib membayar (memenuhi) nafkah istri, berdasarkan al-Quran, dan sunnah Nabi dan ijma. Dasar al-Quran adalah QS.At-Talaq (65): 7, Al-Isra (17): 30, dan Al-Ahzab (33): 50. Adapun dasar haditsnya adalah hadits Nabi yang menyuruh agar membayar nafkah (sandang dan pangan) dan menyediakan tempat tinggal (papan) bagi istri/keluarga.[3]


[1] Drs. H. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang, Dima Utama Semarang [DIMAS]), 1993 hlm. 81.
[2] iddib
[3] Prof. Khairudin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta, ACAdeMIA &TAZZAFA) 2005, hlm.132-145.